Pelatihan SKPI Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Bidang Paralegal Kerjasama Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan LBH Tentrem
Sesi Penyampaian Materi
Jumat, 31 Oktober 2025, di Ruang Teaterikal Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah dilaksanakan kegiatan Pelatihan SKPI Peningkatan Kompetensi Mahasiswa Bidang Paralegal. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES) dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tentrem, dalam rangka menyiapkan mahasiswa menghadapi dunia praktik hukum masyarakat. Pelatihan ini menjadi bagian dari program Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) yang menekankan kompetensi profesional di luar kegiatan akademik murni, khususnya pada bidang pendampingan hukum berbasis masyarakat.
Kegiatan dibuka dengan sambutan oleh Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, AHashfi Luthfi, yang menegaskan bahwa paralegal memiliki peran penting dalam menjembatani kebutuhan keadilan masyarakat dengan keterbatasan layanan hukum formal. Dalam sambutannya, beliau menyoroti bahwa paralegal adalah ruang belajar nyata bagi mahasiswa hukum untuk mengasah kepekaan sosial dan memahami konteks hukum dari sisi masyarakat bawah. Ia menambahkan bahwa setelah lulus, kompetensi paralegal dapat menjadi pijakan awal untuk menjadi praktisi hukum profesional yang berintegritas, karena dunia hukum bukan hanya tentang aturan, tetapi juga tentang keberpihakan kepada nilai kemanusiaan.
Sesi inti pelatihan menghadirkan Yahya Asmu’i, S.H., M.H., selaku narasumber utama dari LBH Tentrem, yang telah berpengalaman dalam advokasi dan pendidikan paralegal di berbagai daerah. Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa paralegal bukan sekadar asisten hukum, melainkan agen pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan Permenkumham Nomor 3 Tahun 2021, paralegal diakui sebagai bagian dari pemberi bantuan hukum yang berperan dalam memberikan penyuluhan, advokasi non-litigasi, dan pendampingan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya. Yahya Asmu’i juga menekankan nilai-nilai dasar yang wajib dimiliki paralegal: kejujuran, sukarela, objektif, independen, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Materi pelatihan membahas secara mendalam sejarah perkembangan paralegal di Indonesia, yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an sebagai respons terhadap keterbatasan profesi hukum dalam menjangkau masyarakat miskin. Pada masa itu, banyak kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum tetapi tidak mampu membayar jasa advokat. Dari sinilah lahir konsep community-based paralegal atau paralegal berbasis komunitas, yang bertugas memberikan edukasi hukum, membantu administrasi kasus, dan menjadi jembatan antara warga dan lembaga hukum. Paralegal, menurut Yahya Asmu’i, adalah refleksi nyata dari demokratisasi hukum, tempat warga bisa berdaya atas persoalan hukumnya sendiri.
Peserta pelatihan diajak memahami struktur dan regulasi yang mengatur praktik keparalegalan, termasuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Permenkumham 3 Tahun 2021 sebagai dasar hukum terbaru. Materi disampaikan dengan metode interaktif yang menggabungkan diskusi, simulasi kasus, dan analisis sosial hukum. Peserta belajar bagaimana menyusun kronologis kasus, mengidentifikasi pelanggaran hak, dan mengembangkan strategi pendampingan hukum. Contoh kasus yang digunakan bersumber dari konteks sosial yang nyata, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan anak di bawah umur, dan permasalahan sosial akibat urbanisasi, sebagaimana terdapat dalam modul pelatihan tahun 2025.
Salah satu sesi menarik adalah analisis kasus langsung dari peserta, di mana mahasiswa diminta membedah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), konflik sosial di desa akibat limbah plastik, serta pernikahan dini yang masih sering terjadi di daerah pinggiran. Melalui diskusi kelompok, peserta belajar menempatkan diri sebagai paralegal yang berperan aktif dalam advokasi dan penyuluhan hukum. Setiap kelompok kemudian mempresentasikan hasil analisisnya di depan pemateri, disertai masukan mengenai aspek etika, pendekatan hukum yang tepat, serta potensi mediasi di masyarakat.
Selain aspek hukum, Yahya Asmu’i juga menyoroti nilai-nilai personal dan sikap dasar paralegal yang harus ditanamkan sejak dini. Paralegal, menurutnya, harus memiliki karakter rendah hati, pendengar yang baik, bijak dalam menghadapi konflik, serta kritis terhadap ketidakadilan. Keberhasilan seorang paralegal tidak diukur dari banyaknya kasus yang ditangani, tetapi dari kemampuannya membangun kesadaran hukum di tingkat komunitas. Dalam konteks mahasiswa, nilai-nilai tersebut sangat relevan untuk menumbuhkan profesionalitas dan empati terhadap masalah sosial di sekitarnya.
Kegiatan ditutup dengan penegasan kembali oleh AHashfi Luthfi, bahwa pelatihan paralegal bukan sekadar kegiatan seremonial, tetapi bagian dari visi akademik Prodi HES dalam mencetak lulusan yang tidak hanya menguasai teori hukum, tetapi juga siap terjun sebagai pendamping masyarakat. Dengan terselenggaranya pelatihan ini, mahasiswa diharapkan memiliki bekal kompetensi yang diakui melalui sertifikat SKPI dan mampu melanjutkan kiprah mereka sebagai paralegal muda berkompeten. Kerja sama antara Prodi HES dan LBH Tentrem ini akan berlanjut dalam bentuk pendampingan lapangan dan program magang hukum berbasis masyarakat.
Pelatihan paralegal ini menjadi langkah penting dalam menumbuhkan kesadaran hukum dan membentuk kader mahasiswa yang tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga peduli pada persoalan keadilan sosial. Semoga kegiatan ini menjadi tradisi akademik yang terus berkelanjutan dalam upaya memperkuat jembatan antara kampus, masyarakat, dan dunia hukum yang lebih humanis.